Oleh: Daniel Rosyid | Juni 1, 2007

Kematian Kreativitas

Minggu-minggu ini anak Indonesia yang duduk di kelas 3 SMP dan SMA bersiap-siap menunggu hasil Ujian Nasional. Di tengah-tengah penolakan yang luas terhadap ritual momok nasional ini, Pemerintah bersikeras tetap melakukannya, dan tahun 2007 bahkan akan merambah Sekolah Dasar. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk memacu anak Indonesia agar mau belajar. Dewan Pendidikan Jawa Timur sudah sejak tiga tahun lalu menolak Ujian Nasional ini. Tulisan pendek ini akan memberi argumentasi atas kesalahan Ujian Nasional , dan mengapa kebijakan ini tidak boleh lagi diulangi pada tahun-tahun mendatang.

 

Desentralisasi pengelolaan pendidikan hingga tingkat satuan pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh sistem pendidikan nasional, kewenangan guru untuk melakukan evaluasi kinerja belajar siswa, dan Kurikulum Berbasis Kompetensi pada akhirnya dijegal oleh Ujian Nasional. Ujian Nasional memberi sinyal salah pada guru, murid, dan wali murid mengenai kompetensi apa yang perlu dikuasai oleh murid. Karena formatnya yang massal, maka soal-soal ujian nasional selalu bersifat pilihan berganda, kognitif, dan analitik, serta crispy. Di samping mencampuradukkan antara kepentingan pemetaan mutu pendidikan dan evaluasi kinerja murid, Ujian Nasional memberi sinyal seolah-seolah kompetensi-kompetensi lain, terutama kompetensi-kompetensi personal, interpersonal, sosial, dan sintetik (desain), serta fuzzy tidak penting (oleh karenanya tidak diujikan). Akibat seluruh sistem pendidikan nasional digiring ke arah yang keliru oleh Ujian Nasional ini, bangsa ini kehilangan sumberdayanya penting untuk bertahan hidup sebagai bangsa, yaitu sumberdaya imajinasi, dan kreativitas.

Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional, sekolah yang terakreditasi A boleh melakukan Ujian Akhir Sekolah. Namun demikian, Ujian Nasional menggembosi proses-proses akreditasi sekolah ini. Kinerja proses akreditasi sekolah yang buruk merupakan resep bagi resentralisasi pendidikan. Akibat yang paling serius resentralisasi pengelolaan pendidikan ini adalah leadership, inovasi dan prakarsa lokal di tingkat sekolah kita tidak berkembang sama sekali. Kepala sekolah lebih berorientasi melayani birokrat pendidikan, daripada melayani murid dan mengembangkan program-program pendidikan yang relevan menjawab kebutuhan pendidikan siswa. Karena leadership di sekolah tidak terbangun, atmosfer sekolah bukanlah atmosfer membangun guru yang berkompeten melayani kebutuhan murid di tingkat individu ataupun kelompok unik dan beragam secara luwes dan inovatif.

Arti penting persoalan leadership di tingkat sekolah ini perlu dicermati, karena sekolah adalah institusi yang mengantarkan anak didik ke masa depan. Leadership membawa isu-isu masa depan menjadi wacana dan kerangka kerja sekolah dan guru dan membawa budaya belajar yang berani menghadapi masa depan. Kematian leadership akan mengantar sekolah pada kondisi di mana gagasan tentang masa depan yang penuh ketidakpastian dan ketidakjelasan dianggap sebagai gagasan yang asing bagi guru, dan ditakuti karena banyak membawa ketidaknyamanan. Jika sekolah bukan tempat menggagas masa depan, apakah masih ada harapan bagi murid dalam menyongsong masa depannya ?.

Masa depan ummat manusia di abad 21, abad penuh ketidakpastian ini hanya dapat dihadapi oleh generasi kreatif, yaitu generasi yang berani menggagas hal-hal baru, original dan belum pernah ada sebelumnya. Bangsa yang mampu mengelola kreativitasnya akan mewarnai budaya global, dan menguasai sektor kreatif, yaitu sektor ekonomi dengan nilai tambah paling tinggi. Bangsa dengan sumberdaya alam melimpah tapi gagal mengembangkan sektor kreatifnya akan terpuruk pada sektor ekonomi dengan nilai tambah rendah, lingkungan yang semakin tereksploitasi dan rusak, dan terjajah secara budaya.

Leonardo da Vinci pernah mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan sebagai seniman –Children are born artists-. Mengapa anak-anak itu kreatif ? Karena mereka berani ! Mengapa anak-anak cenderung berani ? Karena mereka tidak memahami konsekuensi yang ditimbulkan oleh setiap kesalahan. Memang seringkali ketidaktahuan membuat anak-anak lebih berani. Anak-anak cenderung tampak ceroboh (misalnya suka mencoba-coba banyak hal yang berbahaya), sampai sesuatu menghentikannya (misalnya terjatuh). Menangis bagi anak-anak biasanya adalah akhir dari penjelajahan kreatifnya.

Kapasitas kreatif dapat kita bangun dengan membangun keberanian berimajinasi –semacam pemetaan atau abstraksi mental tentang sesuatu yang ada ataupun belum pernah ada. Kata keberanian ini sedemikian penting, karena apa yang bisa dilakukan oleh manusia yang takut, bahkan untuk berimajinasi sekalipun ? Keberanian berimajinasi adalah ciri penting para enterpreneur (pengusaha). Peta mental tentang sesuatu –misalnya saja kotak bermesin dengan 4-roda (ini kemudian disebut mobil)- ini selanjutnya ditransformasikan ke dalam berbagai medium yang bisa dikenai proses-proses berikutnya melalui kegiatan simulasi. Melalui simulasi inilah kelayakan gagasan-gagasan itu diuji oleh para ilmuwan dan insinyur yang dibayar oleh sang pengusaha. Simulasi ini barangkali menggunakan ratusan persamaan diferensial untuk diselesaikan dengan super komputer, tapi mobil sebagaimana yang kita kenal tidak akan pernah ada jika tidak ada Henry Ford.

Sir Ken. Robinson mengatakan dalam sebuah forum internasional di Brisbane awal April lalu, bahwa pendidikan kita lah yang telah membunuh kapasitas kreatif anak-anak kita. Lihat saja sekolah-sekolah kita, bagaimana kesalahan selalu mengundang hukuman dari guru, kadang-kadang dengan berbagai alasan yang tampak mulia seperti disiplin. Oleh karena itu peraturan pertama tak tertulis sekolah kita adalah : dilarang berbuat salah. Sekolah kita kebanyakan gagal membangun ruang bathin yang luas bagi anak-anak untuk secara leluasa menjelajahi daerah-daerah dan pikiran-pikiran “baru dan berbahaya”. Interaksi guru dan murid biasanya satu arah dengan guru menjadi pusat, dan bertindak seolah-olah yang paling tahu tentang semua hal. Guru dikejar-kejar “isi kurikulum”, lalu memaksakan siswa untuk menghafalkan teori yang sudah “siap telan” , tapi tidak pernah tertarik membantu siswa “menemukan sendiri teori-teori” mereka tentang alam..

Bertanya ? Tidak boleh terlalu sering, apalagi yang nyleneh-nyleneh. Jika seorang anak tampak tidak tertarik dengan uraian guru (yang seringkali amat membosankan, satu arah, dan tidak menantang), anak ini biasanya dikategorikan anak bodoh, atau –jika lebih beruntung- disebut anak dengan gangguan belajar (kids with learning disorder). Anak-anak dengan bakat seni atau olah raga “tidak kelihatan” di sekolah karena kapasitas-kapasitas semacam ini dianggap tidak penting, dan oleh karenanya tidak dikembangkan dengan sungguh-sungguh, dan juga tidak diukur. Kalaupun diujikan, tidak terlalu menentukan kelulusan anak didik.

Pemberhalaan pada matematika dan sains yang bertumpu pada kekuatan otak kiri yang digital, diskrit, analitik dan vertikal telah mengakibatkan pengkerdilan potensi-potensi kreatif yang bertumpu pada otak kanan yang kontinum, fuzzy, sintetik, dan horizontal. Untunglah, jika kapasitas otak kiri sulit dilatih (diukur dengan IQ), kemampuan otak kanan ini bisa dikembangkan. Bahkan peradaban manusia dengan segala karyanya tergantung lebih banyak pada potensi kreatif otak kanan kita.

Betapa sistem pendidikan telah membunuh kreativitas kita ditunjukkan oleh serangkaian tes kreativitas yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa semakin lama seseorang bersekolah, kemampuan siswa menemukan gagasan-gagasan orisinal justru semakin turun. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan formal seseorang, keberaniannya untuk menggagas hal-hal baru yang original turun secara sistematik. Bahkan survei di lapangan menunjukkan dari 100 pengusaha di Indonesia, hanya 6 orang lulusan perguruan tinggi, sedangkan sisanya didominasi lulusan SD! Bahkan di tanah Mandar di Sulawesi Barat ada anekdot : anak pintar ikut bapaknya melaut, anak bodoh pergi ke sekolah.

Saya setuju dengan Sir Ken Robinson bahwa sistem pendidikan kita sekarang ini harus dirombak secara menyeluruh, terutama pendidikan yang lebih mengembangkan potensi kreatif siswa. Sistem pendidikan melalui sistem sekolah yang kita kenal sekarang ini merupakan gejala 200 atau 300 tahun terakhir yang sebelumnya tidak kita kenal. Ujian Nasional yang bersikeras dipaksakan oleh Pemerintah jelas-jelas telah berhasil membunuh modal kreatif anak-anak kita, dan sudah saatnya dimasukkan dalam museum sejarah pendidikan.

Bangsa ini telah melahirkan arsitek, seniman, dan ilmuwan besar yang tidak pernah mengenal sistem pendidikan yang dengan congkak kita sebut modern ini. Saya pikir anak-anak jalanan yang sering kita temui di perempatan jalan tidak menyadari bahwa mereka blessed in disguise, tidak harus terbunuh kreativitasnya di sekolah-sekolah yang menakutkan, dan membosankan. Jika kita tidak terlalu bebal atas kesalahan sistematik ini, niscaya bangsa ini telah melahirkan Ronggowarsito dan Raden Saleh muda yang menciptakan berbagai keajaiban dunia.


Tanggapan

  1. Sependapat….
    Repotnya, universitas menerima output tersebut! 😦

  2. Betul, pak Rahmat Samik.
    PT seharusnya menggunakan test seleksi baru, dan meninggalkan model test SPMB seperti saat ini. Untuk UI, sebaiknya hanya menerima mahasiswa melalui test kreativitas yang akan mencandra aspek-aspek kepribadian, risk taking attitude, dan leadership, serta time-discipline.
    Terimakasih.
    Daniel Rosyid

  3. Mas Daniel, saya lalu teringat kata-kata Einstein, yg dikutip dan dinyanyikan Dewa dg gaya ngepop, katanya: imajinasi lebih penting dari ilmu pasti. Pesannya jelas, jangan biarkan regim otak kiri terlalu mendominasi keseharian kita, termasuk dlm penilaian atas ‘kecerdasan’ dan ‘kesuksesan’.
    Ironisnya, salah satu agen terpenting dr regim otak kiri tsb adl lembaga pendidikan.
    Merubah ini adl pekerjaan besar, namun setidaknya Mas Daniel sudah memulai….

  4. Terimakasih Sdr. Susilo, atas respons Anda.
    Memang, hal-hal yang penting selalu saja tidak mudah menjalaninya. Insya allah saya sudah pernah memulainya di tempat lain, kali ini harapan saya bisa dilakukan di UI.
    Only time will tell…
    Wassalam.
    Daniel Rosyid

  5. Saya sependapat, tidak hanya kreativitas yang dimatikan, namun juga kemampuan problem solving, character building dan life skill anak-anak bangsa dikebiri dengan sistem pendidikan yang berakhir dengan murni kognitif. Saya yakin, para pejabat yang terkait dengan dinas pendidikan pasti mengerti hakekat tulisan Pak Daniel. Namun saya tidak tahu bagaimana jalan pikir mereka. Kalau ini dibiarkan terus, kualitas pendidikan bangsa ini akan terus terpuruk.

  6. Terimakasih pak Munif.
    Saya memahami kreativitas sebagai kemampuan menemukan solusi baru untuk soal-soal lama maupun yang baru pula.
    Kreativitas merupakan ciri penting insan perubahan, sedangkan ciri penting manusia ini adalah kepekaan waktu mereka yang tinggi. Saya khawatir, banyak birokrat dan anggota masyarakat yang melestarikan budaya “jam karet”, dan oleh karena itu enggan berubah karena pernah menjadi
    korban pembunuhan kreativitas ini.
    Wallahu a’lam bi shawab.
    Daniel Rosyid

  7. Assalamualaikum, Bapak.

    Saya berminat besar terhadap pendidikan dan musik dan tulisan2 bapak menambah wawasan saya. Terima kasih


Tinggalkan Balasan ke Daniel Rosyid Batalkan balasan

Kategori