Oleh: Daniel Rosyid | Oktober 2, 2007

ORASI DIES NATALIS ITS KE 47

 

TRANSFORMASI INDONESIA 2050

Pendidikan Liberal Arts

 

Demi waktu,

Sungguh manusia dalam keadaan merugi,

Kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih, dan

Saling menasehati untuk kebenaran dan kesabaran

Al Qur’an, Surat al ‘Asr

1. Pendahuluan

Dalam empat bulan terakhir ini, Presiden SBY dalam dua kesempatan berbicara di Universitas Airlangga dan Universitas Padjajaran mewacanakan tentang Transformasi Indonesia 2030. Dalam dua kesempatan tersebut, Presiden menyitir sebuah laporan menarik yang dipublikasikan oleh Goldman Sachs, sebuah perusahaan konsultan global, yang meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang penting dalam 20-40 tahun ke depan. Menurut ramalan Goldman Sachs tersebut Indonesia pada tahun 2050 bakal menjadi salah satu negara the Big-7, yaitu Brazil, Rusia, India, China, Amerika Serikat, Turki, dan Indonesia. Yang paling menonjol dalam thesis Jim O’Neil (senior economist pada Goldman Sachs Investment Bank) ini adalah transformasi di China dan India, sehingga keduanya disebut Chindia. Kebesaran Negara-negara ini dilihat dari pendapatan perkapita penduduk tujuh tertinggi di dunia meninggalkan tidak saja Taiwan, dan Korea Selatan, namun juga Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris. Ramalan-ramalan ini dipijakkan pada kecenderungan-kecenderungan ekonomi, politik, dan demografi pada ke-tujuh negara tersebut.

Kemungkinan besar berdasarkan proyeksi-proyeksi ini, pada pertengahan 2007 ini PM Abe (saat itu) dari Jepang , dan PM Putin dari Rusia segera mengunjungi Indonesia untuk membangun sebuah kemitraan bilateral strategis. Kedua negara raksasa ini menyadari betapa pentingnya Indonesia dalam percaturan internasional di masa depan, serta sebagai pasar bagi produk-produk mereka. Jepang yang telah lama ”meninggalkan kartu Asia” dengan menjadi sekutu dekat AS –untuk tidak menyebut boneka AS- segera tergopoh-gopoh melihat pengaruh Cina yang semakin meningkat di kawasan ini. Rusia segera menggunakan sentiman historisnya untuk mendekati Indonesia sebagai ”teman lama”, termasuk menawarkan teknologi pertahanan, sejak teknologi pesawat terbang, hingga roket. Bahkan direncanakan akan dibangun fasilitas peluncuran roket di Papua oleh Rusia.

Pertanyaannya adalah : apakah Indonesia benar-benar pada sekitar tahun 2050 akan berhasil mentransformasikan diri menjadi anggota the Big-7 ini dengan pengaruh ekonomi, budaya, dan politik yang tidak bisa lagi diremehkan ? Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk itu ? Orasi ini berpandangan bahwa prestasi Indonesia di tahun 2050 ini bukan merupakan sesuatu yang boleh taken for granted. Orasi ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Segera harus dicatat, bahwa sejarah peradaban manusia telah dengan jelas menunjukkan kepada kita, bahwa kekayaan sumberdaya alam (modal alam), warna kulit, dan kecerdasan intelektual sumberdaya manusia semata tidak menentukan keberhasilan sebuah bangsa menjadi bangsa yang maju, makmur, dan berpengaruh. Angka kemiskinan Indonesia masih amat tinggi (20-30%, mencapai sekitar 37 juta penduduk per Juli 2007) diikuti dengan kekurangan gizi dan keterbelakangan kecerdasan (lihat Gambar 1). Sebuah bangsa lebih membutuhkan modal buatan yang disusun dari sikap, disiplin, integritas, kemauan bekerja keras, kepatuhan pada hukum dan peraturan, penghargaan kepada hak-hak orang lain, dan kegairahan untuk melakukan perbaikan terus menerus agar menjadi bangsa yang maju dan makmur.

 

Kemiskinan ponorogo

 

Gambar 1 . Kemiskinan dan Keterbelakangan di Ponorogo

(sumber : Kompas, Rabu 3 Oktober 2007)

Memperkuat modal buatan tidak saja kunci bagi Singapura dan Jepang, serta bangsa-bangsa lain yang miskin sumberdaya alam, tapi juga kunci bagi Indonesia yang diberkati dengan sumberdaya alam melimpah tapi terbatas. Penguatan modal buatan ini merupakan strategi pembangunan Indonesia untuk tumbuh berkelanjutan sambil mengurangi tingkat eksploitasi alam yang kini sudah tampak berlebihan sehingga mulai mengancam ekosistem kita.

Kunci penguatan modal buatan ini adalah pendidikan, dan untuk abad informasi ini, sebagaimana dikemukakan oleh Sir Ken Robinson, adalah pendidikan yang menumbuhkembangkan kreatifitas. Hanya manusia kreatif yang mampu bertahan dalam perubahan cepat multi-dimensional yang dibawa oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi..

Namun demikian segera harus dicatat, bahwa pembangunan pendidikan Indonesia saat ini telah gagal menghasilkan modal buatan (manusia kreatif) yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang maju. Alih-alih pendidikan menghasilkan modal buatan, pendidikan yang tidak berorientasi mutu, miskin ranah, miskin kecerdasan, justru telah menghancurkan modal alami kita sendiri, dan menjadi liability karena melahirkan warga yang tidak memiliki kapasitas kreatif yang dibutuhkan. Oleh karena itu pendidikan sebagai a cradle of civilization yang akan menjadi kunci penentu keberhasilan transformasi Indonesia 2050 perlu direorientasikan untuk berperspektif mutu, menjangkau pengembangan kompetensi manusia dengan spektrum yang lebih luas yang dipijakkan pada seluruh kecerdasannya yang majemuk. Pendidikan yang miskin ranah, serta mengerdilkan kreatifitas tidak saja sebuah pemborosan, bahkan akan menghasilkan manusia yang gagal.

2. Pendidikan Gagal Membangun Bangsa yang Berdisiplin

Masalahnya adalah, jika pendidikan kita dapat didefinisikan sebagai sebuah proses memaknai seluruh pengalaman hidup kita, pendidikan di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini didekati secara sempit, formalistik, terlalu berorientasi pasokan sebagai sebuah sektor di antara sektor-sektor lainnya. Pendidikan juga bukan arus utama pembangunan, terutama sebagai upaya memberantas kemiskinan. Bahkan melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa, pendidikan telah direduksi menjadi teaching for the test, dan sekolah menjadi sekedar lembaga bimbingan belajar.

Di samping itu, kebijakan pendidikan yang sudah mendorong desentralisasi –melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), misalnya- masih juga dalam praksisnya masih sentralistik, terutama melalui kebijakan Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan siswa.. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional gagal menyadarkan para guru untuk mengakrabkan murid dengan lingkungannya sendiri dan kreatif menyediakan solusi-solusi bagi beragam persoalan kehidupan mereka. Sebagai negara agraris, harus dikatakan, bahwa pembangunan pertanian kita saja tidak menunjukkan kinerja yang membanggakan, apatah lagi kinerja pembangunan kelautannya. Pendek kata, pendidikan kita gagal mengantarkan kita untuk memiliki kompetensi teknikal, dan sosial yang diperlukan untuk mengubah sumberdaya alam yang melimpah itu menjadi sumber kemakmuran dan kemajuan. Kita mengalami disorientasi dengan terlalu menekankan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif-akademik (IQ) yang sempit, namun kurang memperhatikan jenis kecerdasan lainnya (menurut Howard Gardner ada delapan kecerdasan di luar kecerdasan linguistik dan matematik), termasuk soft-competence –seperti disiplin- yang justru dalam banyak hal jauh lebih menentukan keberhasilan kita sebagai individu maupun bangsa.

Sekolah dan kampus gagal mengembangkan kemandirian kita sebagai agen-agen perubahan (change agents) yang mengambil sikap kritis pada proses-proses pembangunan, namun seringkali justru menjadi benteng kemapanan, dan mereduksi diri menjadi sekedar diploma mills (pabrik ijazah). Dalam tugasnya sebagai pelahir agen perubahan, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana kesadaran dan kepekaan terhadap waktu ditumbuhkembangkan. Budaya ”jam karet” yang masih melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia menunjukkan kegagalan tugas ini. Kampus juga menjadi contoh yang buruk dalam manajemen waktu : prosentase mahasiswa yang mampu menyelesaikan kuliah tepat waktu (8 semester/ 4 tahun) cukup rendah (lihat Tabel 1). Kegagalan pendidikan kita telah menyebabkan sektor pertanian dan kelautan kekurangan para enterpreneur –sebagai agen perubahan- dan kekurangan tenaga kerja dengan wawasan dan kompetensi yang memadai sehingga kedua sektor inipun kurang berkembang, dan kurang terurus, terlebih sektor kelautannya.

Kita sering dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa keterbelakangan kita merupakan akibat dari sistem yang brengsek, ketiadaan leadership atau moral kita yang buruk. Beberapa sosiolog terkemuka mengatakan bangsa kita ini termasuk bangsa dan negara yang lembek (soft nation and state). Dalam rangka mengikhtiarkan perbaikan daya saing bangsa Indonesia dalam kancah kompetisi global saat ini Saya setuju dengan pendapat ini, namun saya akan memfokuskan diri pada satu persoalan dasar bangsa ini : ketidakpekaan (insensitivity) dan ketidakdisiplinan (indiscipline) kita terhadap waktu.

Gagasan pokok orasi ini adalah bahwa Transformasi Indonesia 2050 akan menjadi kenyataan dan bangsa ini keluar dari keterpurukan dan bangkit menuju kemajuan hanya dengan satu jalan : membangun kepekaan dan disiplin waktu baru yang sehat.

Tabel 1. Prosentase mahasiswa yang selesai tepat waktu

TA 2006-2007

 

Universitas Indonesia

ITS Surabaya

Universitas Hasanudin

Prosentase lulus tepat waktu

51%

44%

21,42%

Banyak mahasiswa (dari PTN terutama) yang tidak menyadari implikasi keterlambatan mereka menyelesaikan kuliah mereka. Di samping desain program yang lebih lama dibanding dengan program sejenis di negeri-negeri maju (pendidikan sarjana /bachelor di Inggris dan di Malaysia umumnya 6 semester), keterlambatan mahasiswa Indonesia menyelesaikan kuliah menyebabkan pemborosan yang luar biasa besar pada sektor ketenagakerjaan Indonesia. Umur pemegang gekar doktor Indonesia umumnya 5 tahun lebih tua, dan profesornya 10 tahun lebih tua daripada rekan-rekannya di negeri-negeri maju.

Penelusuran atas kurikulum pendidikan nasional akan mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pendidikan kita, sejak pendidikan dasar, tidak membangun kemampuan menggagas, meremehkan pendidikan sejarah, dan tidak memberikan pengalaman temporal dan spatial yang memadai untuk menumbuhkan kepekaan waktu pada anak didik. Pendidikan bahasa dan budaya membaca yang baik sebagai strategi meningkatkan kemampuan menggagas siswa terbengkalai. Jika pengalaman temporal dapat diberikan melalui pendidikan seni, terutama musik, dan pengalaman spatial/temporal melalui pendidikan olah raga, maka akan kita temukan bahwa porsi pendidikan matematika dan sains mendominasi kurikulum pendidikan dasar kita. Sementara pendidikan seni, termasuk musik, dan olah raga mengalami marjinalisasi luar biasa, dan hanya memperoleh porsi kurang dari 20%. Pendidikan nasional, terutama pendidikan dasar, Indonesia boleh dikatakan telah menderita ”kegilaan sains”, dan ”mati seni dan olah raga”, walaupun masih juga gagal membangun budaya sains. Pendidikan sejarah juga mengalami peminggiran secara sistematik. (lihat Laporan Kompas, Gambar 2).

Berbeda dengan Indonesia selama 30 tahun terakhir ini, pendidikan dasar di Barat yang maju justru memberikan perhatian pada pendidikan matematika, sains, bahasa,.

Siswa Abaikan Sejarah

 

Gambar 2. Laporan Kompas Tentang Marginalisasi Pendidikan Sejarah

sejarah, musik dan olahraga secara lebih seimbang. Tidak terjadi pengagung-agungan berlebihan pada sains dan matematika seperti terjadi di Indonesia. Spesialisasi (pendidikan keahlian) baru dilakukan pada pendidikan menengah, dan dipertajam di perguruan tinggi. Ini berarti, pendidikan dasar di Barat telah berhasil membangun kemampuan menggagas yang kuat, dan memberi pengalaman temporal dan spasial yang sehat untuk memahami waktu dan kemudian menghargainya

3. Waktu : pengertian dan mengapa penting ?

Jika budaya merupakan basis kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan teknologi sebuah masyarakat, maka ciri pokok yang membedakan sebuah bangsa yang maju dengan yang terbelakang adalah budaya waktunya. Artinya, sementara bangsa yang maju memiliki budaya waktu yang sehat, bangsa yang terbelakang tidak memilikinya. Budaya waktu yang tidak sehat pada sebuah masyarakat dicerminkan dari, pertama, ketidakpekaan waktu masyarakat tersebut, dan kemudian oleh ketidakdisiplinan waktunya.

Kepekaan waktu sebuah masyarakat tidak berkembang sehat saat anggota masyarakat tersebut mengalami kesulitan-kesulitan untuk memahami waktu sebagai sebuah konsep yang abstrak. Tidak seperti pengalaman inderawi lainnya, pengalaman waktu (temporal experience) tidak mudah dilukiskan dan diukur, sampai terciptanya jam (clock). Dalam hal ini segera perlu dikatakan bahwa waktu barangkali merupakan sebuah konsep yang cukup abstrak untuk dipahami. Masyarakat yang tidak terlatih untuk berpikir abstrak melalui membaca niscaya akan mengalami kesulitan-kesulitan memahami, untuk kemudian mengapresiasi waktu.

pendidikan bogor

 

Gambar 3. Buta Aksara di Indonesia Masih Tinggi

Masyarakat yang memiliki budaya membaca yang baik memiliki kapasitas yang lebih baik untuk memahami konsep-konsep abstrak, termasuk waktu. Bisa dibayangkan jika di kota Bogor, angka buta huruf masih mencapai 3%, di kawasan lain pasti jauh lebih tinggi, dan kapasitas bangsa ini untuk mengapresiasi waktu sudah bisa diduga (lihat Gambar 3).

Ada 2 mazhab waktu yang penting. Berbeda dengan Isaac Newton (Hawking sekalipun percaya pada Newtonian Time) yang mempostulasikan waktu fisik yang mengalir ke satu arah (uni-directional physical time), Kant dan Leibniz, serta kemudian Penrose berpandangan bahwa waktu (dan ruang) hanyalah konsep (gagasan) yang kita ciptakan sesuai kebutuhan, terutama untuk memahami pengalaman indrawi kita (a framework to structure sensual experiences). Menurut Kant, waktu merupakan pengurutan peristiwa (ordering of events), sementara ruang adalah tempat di mana peristiwa tersebut terjadi. Masa lampau dan masa depan hanya dapat didefinisikan in the now sebagai rangkaian peristiwa. Dalam konteks transformasi Indonesia, sebagai sebuah konsep abstrak, Indonesia dengan demikian dapat didefinisikan sebagai seluruh rangkaian peristiwa di masa lampau, sekarang, dan di masa depan, di sebuah ruang Nusantara.

Di samping untuk membantu kita memahami seluruh pengalaman indrawi kita, memahami waktu amat penting karena satu hal : waktu kita terbatas, setiap manusia akhirnya mati. Rasulullah bahkan mengatakan : “Yang paling pintar di antaramu adalah yang paling banyak berpikir tentang mati”. Bahkan, tidak seperti sumberdaya terbatas lainnya, waktu yang tersedia bagi seseorang justru berkurang (ever decreasing), seiring dengan pertambahan umurnya. Tidak saja waktu penting dikelola bagi manusia sebagai individu, namun juga penting bagi organisasi sosial, maupun bisnis sebagai modal buatan manusia. Waktu lah yang membuka peluang, harapan, dan memungkinkan proses perubahan. Kelalaian mengelola waktu yang terbatas dan semakin berkurang merupakan resep bagi kegagalan mengelola perubahan (transformasi) untuk menjadi lebih baik, maju, mandiri, sejahtera, dsb.

The West (Barat) yang kita kenal maju saat ini telah berhasil mengembangkan kepekaan dan pemahaman waktu yang lebih sehat saat mereka berhasil mengembangkan budaya membaca yang kuat dan menciptakan jam untuk mengukur waktu (clock time). Kepekaan waktu ini terasah melalui pengembangan karya-karya arsitektur, teknologi, dan seni, terutama musik sebagai produk budaya Barat. Penulis berpandangan, pendidikan liberal arts (terutama bahasa, sejarah, seni –terutama musik-) serta gymnastics merupakan pondasi budaya Barat yang penting dan menjelaskan mengapa Barat memiliki kapasitas kreatif yang jauh melampaui negara-negara miskin.

Kota-kota besar di Eropa hampir selalu memiliki Jam Kota yang besar dan diletakkan di bangunan tinggi di alun-alun kota. Di London, Big Ben merupakan Jam Kota yang menonjol, dan menjadi land mark (penanda kawasan) kota. Jam kota ini selanjutnya menjadi rujukan waktu bagi masyarakat. Pencermatan lebih lanjut oleh para sosiolog menunjukkan bahwa Revolusi Industri di Eropa Barat merupakan akibat yang langsung dari perkembangan kesadaran waktu masyarakatnya. Melalui waktu jam ini, orang mulai mengukur efisiensi, dan produktifitas, untuk kemudian menciptakan mesin-mesin.

4. Implikasi Merusak Ketidakpekaan Waktu

Pendidikan bangsa ini terbukti tidak memberikan kemampuan yang memadai bagi masyarakatnya untuk memahami waktu dan kemudian mengapresiasinya sebagai sumberdaya yang terbatas. Bangsa ini tidak memiliki kepekaan waktu yang dibutuhkan untuk menjadi bangsa yang maju. Ketidakpekaan waktu menyebabkan implikasi merusak yang luas di berbagai bidang kehidupan masyarakat kita saat ini. Salah satu akibatnya adalah ketidakdisiplinan terhadap waktu, dan ini selanjutnya merupakan sumber keterbelakangan masyarakat kita.

Pertama, ketidakpekaan kita terhadap waktu menyebabkan kita sulit berubah, dan takut menghadapi –jangankan memulai- perubahan. Waktulah yang menyediakan peluang perubahan terjadi –time makes changes possible. Jika manajemen merupakan seni mengubah sumberdaya yang terbatas untuk menghasilkan nilai tambah, kapasitas manajemen bangsa ini rendah. Kita tidak menghargai efisiensi yang lazim diperoleh jika proses-proses dapat dipercepat (hemat waktu). Keterlambatan dan penundaan (delays) merupakan hal yang lazim dijumpai, dan menyebabkan berbagai macam bentuk time-mismatches. Ketidakpekaan waktu bangsa ini terbukti sebagian oleh kenyataan bahwa ilmu manajemen kita tertinggal, dan pendidikan manajemennya terlambat bangkit. Program Magister Manajemen yang pertama di Indonesia dilakukan oleh UI pada akhir tahun 1980-an, sedangkan program MBA di Harvard sudah dimulai 80 tahun sebelumnya.

Sekalipun orang sering mengatakan yang diperlukan adalah kemampuan menjalankan rencana (eksekusi), perencanaan yang gagal sama saja dengan merencanakan kegagalan. Oleh karena itu kita melihat betapa banyak sektor yang mengalami salah urus (mismanaged, atau under-managed), dan akhirnya banyak proyek terlambat diselesaikan. Jika waktu merupakan sumberdaya yang penting karena sifatnya yang ever-decreasing, kesuksesan setiap manajemen amat ditentukan oleh kemampuannya mengelola waktu (time management) yang terbatas.

Dari sudut pandang manajemen, waktu merupakan variable yang paling independen (most independent and least controllable). Mengelola waktu merupakan kegiatan terpenting untuk sukses dalam hidup pribadi maupun bisnis. Baik kualitas Q (perhatian pembangunan di era pertanian), maupun efisiensi E(perhatian era industri), dan waktu penyerahan D (delivery) pada akhirnya tergantung oleh waktu (perhatian utama era informasi). Di era teknologi informasi ini, persaingan akan dimenangkan oleh mereka yang tercepat, bukan yang terkuat. Bill Gates –CEO Microsoft- bahkan mengatakan ”competition at the speed of thought”. Dengan mempercepat proses (memajukan jadwal penyerahan/delivery), mutu akan naik, sementara biaya akan turun. Kunci keberhasilan QED ini pada disiplin waktu.

Kedua, ketidakpekaan kita terhadap waktu juga menghambat kita untuk berpikir proses dalam sebuah sistem (process and system thinking), terutama dinamika sistem (system dynamics). Proses hanya mungkin kalau ada waktu. Berpikir proses berarti berpikir sistem, berorientasi tujuan, bekerjasama dengan komponen-komponen sistem lainnya, pada waktu yang tepat dalam sebuah orkestrasi. Di samping pendidikan yang terkotak-kotak menjadi disiplin-disiplin yang berbeda-beda, ego-sektor merupakan gejala yang lazim ditemui sejak tahap perencanaan dimulai. Padahal, waktu-lah yang menyatukan berbagai macam sektor tersebut (time alignment). Oleh karena itu, sinergi dan koordinasi di tingkat pelaksanaan seringkali hanyalah ilusi belaka, begitu perencanaanya tidak memadu –bukan terpadu. Artinya, aspek keterpaduan yang terpenting adalah keterpaduan waktu. Perencanaan yang baik memadukan berbagai sumberdaya dan komponen sistem, tidak terpadu secara ajaib dengan sendirinya (otomatis). Perencanaan yang memadu memerlukan ikhtiar, dan kesanggupan bekerjasama pada waktu yang tepat. Perencanaan yang tidak memadu telah mendorong ketidaksimetrian informasi antar-sektor yang luas, menyebabkan kegiatan pembangunan sebagai upaya perubahan menjadi tidak efisien dan tidak efektif, serta membuka peluang korupsi. Banyak kegagalan, dan kesenjangan spasial, seringkali disebabkan oleh kesenjangan temporal (time-gap).

Ketiga, ketidakpekaan kita terhadap waktu juga menjelaskan mengapa kemampuan rekayasa (engineering) kita lemah, sehingga bangsa ini tetap saja tinggal menjadi konsumen teknologi belaka. Sementara itu, banyak penggunaan berbagai bentuk teknologi tidak membawa manfaat sebesar yang kita harapkan. Rekayasa merupakan sebuah proses penambahan nilai (value-adding process) melalui transformasi sumber-sumberdaya yang terbatas. Banyak produk-produk rekayasa buatan manusia ditujukan terutama untuk mempercepat (waktu) beragam kegiatan manusia. Kebutuhan untuk melakukan rekayasa hanya tumbuh jika kita memiliki kepekaan waktu yang tinggi. Percepatan berbagai macam kegiatan dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas manusia untuk melakukan berbagai kegiatan produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa. Tanpa rekayasa teknologis ini, produktifitas manusia modern tidak akan setinggi saat ini.

Banyak insentif yang dijanjikan oleh aplikasi teknologi justru sirna oleh ketidakdisplinan terhadap waktu. Banyak proyek-proyek teknologi –termasuk proyek-proyek teknologi informasi- di Indonesia harus menyertakan sebuah program migrasi budaya para pengguna teknologi ini, terutama mengubah budaya waktu mereka. Tanpa program migrasi budaya ini, proyek-proyek teknologi tersebut gagal mencapai sasaran yang diharapkan. Pengembangan teknologi nuklir untuk kepentingan damai seperti pembangkitan energi di Indonesia, misalnya, akan menghadapi hambatan budaya utama ketidakdisplinan waktu.

Keempat, ketidakpekaan kita terhadap waktu telah mengakibatkan sektor jasa kita tertinggal perkembangannya. Mutu sektor jasa (services) –baik publik maupun swasta- ditentukan oleh kecepatan layanan tersebut sebagai dimensi pengalaman yang penting bagi seorang pelanggan. Bahkan orientasi pada pelanggan kita masih rendah. Ada pameo dan seloroh di kalangan masyarakat tentang sikap birokrasi : jika bisa dipersulit (artinya diperlama waktu pengurusannya), mengapa harus dipermudah (dipercepat) ? Penggunaan teknologi informasi hampir-hampir tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena sikap birokrasi yang masih saja tidak menghargai waktu.

Persoalan-persoalan di sektor pelayanan publik seperti transportasi jelas-jelas menunjukkan betapa kita tidak memiliki kepekaan waktu yang memadai untuk bersikap disiplin waktu. Di samping kebijakan transportasi yang tidak berorientasi publik, kecenderungan kita memilih sarana transportasi individual (motor ataupun mobil) daripada transportasi publik, terutama kereta api, menunjukkan kapasitas disiplin waktu kita yang rendah.

Berbeda dengan pengelolaan transportasi individual seperti sepeda motor dan mobil (angkutan kota/angkot), pengelolaan transportasi berbasis rel mensyaratkan kemampuan perencanaan jangka panjang dan disiplin waktu yang amat tinggi. Jepang dan Eropa bisa menjadi contoh bagaimana disiplin waktu dipertontonkan dalam pengelolaan transportasi kereta apinya yang amat maju. Kemacetan adalah ongkos yang harus dibayar amat mahal akibat kebijakan transportasi yang tidak peka waktu ini. Jakarta menjadi contoh buruk tak terbantahkan kelalaian kita ini (lihat Gambar 4).

Di samping itu, kebijakan transportasi yang tidak membangun disiplin waktu ini juga telah mendorong ketidakdisplinan ruang. Kota-kota Indonesia merupakan contoh bagaimana masyarakat kita tidak memperhatikan tata ruang.

 

macet

Gambar 4. Indikasi Kemacetan yang parah di DKI Jaya

angkot

Gambar 5. ”Kelincahan” Angkot di Kota

macet 2

Gambar 6. Kemacetan Khas Jakarta

Berbagai macam kecelakaan transportasi di Indonesia akhir-akhir ini telah mengakibatkan tidak saja masyarakat domestik mulai meragukan aspek-aspek keselamatan transportasi, masyarakat internasional pun mulai ”menghukum” kita. Integritas sistem-sistem kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang amat ditentukan oleh kesuksesan operasi (operational success) perusahaan-perusahaan yang mengoperasikannya. Kesuksesan operasi ini akan menentukan dan selanjutnya ditentukan oleh integritas sistem-sistem teknologis sarana-sarana transportasi tersebut. Keandalan sistem-sistem ini semuanya ditentukan oleh dukungan logistik yang merupakan time-driven activities (umur, jadwal perawatan dan penggantian suku cadang). Baru-baru ini Uni Eropa telah mengeluarkan larangan terbang atas maskapai penerbangan Indonesia, termasuk Garuda Indonesia. Bahkan Kerajaan Saudi Arabia telah mengindikasikan sikap serupa terhadap Garuda Indonesia.

Kelima, ketidakpekaan kita terhadap waktu, di satu sisi telah menghambat kapasitas kita untuk berpikir jangka panjang ke masa depan, dan, di sisi lain, apresiasi kita yang rendah terhadap sejarah. Kita mengalami ”myopia (pendangkalan) waktu”. Kerusakan lingkungan yang luas saat ini di Indonesia sebagian disebabkan karena manusia Indonesia gagal memahami konsekuensi jangka panjang akibat perusakan hutan, dan memikirkan nasib generasi yang akan datang. Kita cenderung berpikir jangka pendek, dan instan, tidak memiliki visi yang jelas, dan oleh karenanya mudah tidak bersabar. Kita menjadi enggan merencanakan, dan kegiatan planning (bagi manajer, atau visioning bagi pemimpin) dinilai sebagai pekerjaan yang tidak penting. Orang sering mangatakan bahwa perencanaan itu tidak terlalu penting, yang lebih penting adalah pelaksanaannya.

Posisi Indonesia di kawasan ring of fire juga menuntut kapasitas manajemen bencana yang memadai untuk mengurangi resiko bencana. Pada saat ini kapasitas manajemen bencana kita amat terbelakang, dan berpotensi mengurangi daya tarik investasi Indonesia..

Kita juga tidak tahan menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan (fog of the future yang diakibatkan oleh rentang waktu yang panjang dan dibawa oleh masa depan), sehingga terjebak pada isu-isu yang serba-pasti dan serba-jelas, serta kuantitatif. Ini sering membuat orang senang menunggu, juga menunggu perintah, dan berbagai macam petunjuk pelaksanaan (Juklak). Bawahan enggan mengambil prakarsa, dan merendahkan dirinya hingga tingkat serendah robot yang melaksanakan sesuatu karena diperintah dan diperintah dengan perintah yang rinci dan tafsir-tunggal.

Padahal kita tahu, bahwa semakin pasti, jelas, dan quantifiable sesuatu, semakin tidak penting hal-hal tersebut. Buku telpon adalah salah satu contoh dokumen yang amat jelas, tanpa perlu menafsirkan untuk memahami informasinya. Bandingkan dengan Pembukaan UUD’45 ataupun puisi ”Aku” karangan Chairil Anwar. Dua karya manusia terakhir itu multi-tafsir, tidak jelas, namun membacanya menggetarkan hati kita. Keengganan kita menghadapi ketidakjelasan ini menyebabkan kita enggan berpikir strategis, berpikir atas sesuatu yang benar-benar penting dan kualitatif, dan terlena berpikir atas yang sepele, remeh-temeh, teknis dan kuantitatif. Penghargaan berlebihan terhadap jurusan IPA dan meremehkan IPS dan bahasa sewaktu di SMA merupakan kecenderungan-kecenderungan yang tidak sehat yang masih terjadi sampai hari ini. Keamburadulan hukum di Indonesia sebagian disebabkan mereka yang terbaik tidak dianjurkan menempuh pendidikan hukum (IPS), tapi diarahkan semua ke pendidikan sains, kedokteran, dan teknik.

Karena memimpin berarti membawa pengikut ke masa depan, keengganan menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan ini merupakan sumber krisis kepemimpinan kita saat ini (lihat Gambar 7). Dalam sejarah Indonesia modern, kita bisa melihat bahwa kegagalan Habibienomics sebagian disebabkan karena Indonesia kekurangan kepemimpinan intelektual budaya yang mampu mengimbangi kepemimpinan teknologi Habibie yang amat menonjol saat itu.

 

 

figur

Gambar 7. Krisis Kepemimpinan

Keenam, ketidakpekaan kita terhadap waktu membuat kita tidak menghargai dinamika, dan mengalami ketumpulan dinamik. Ketumpulan dinamik (dynamic blunt) menyebabkan bangsa Indonesia menjauhi anugerah Tuhan yang terbesar pada bangsa ini, yaitu anugerah kekayaan kelautan dan kepulauan Nusantara ini. Jika ciri menonjol budaya agraris (pertanian) adalah ”kediamannya”, ciri terpenting laut adalah ”perubahannya” (dinamikanya) yang dicerminkan oleh fenomena gerakan (motion) dan aliran (flow) : Jika kita diam dalam satu koordinat di laut, sebentar saja posisi kita sudah berubah akibat aliran gelombang, arus dan angin.

Di samping pendidikan yang tidak diorientasikan secara lebih seimbang ke laut, ketumpulan dinamik membuat bangsa Indonesia kesulitan memahami laut, dan telah mendorong masyarakat kita melihat laut lebih sebagai misteri dengan penuh rasa takut, daripada sebagai anugerah dan potensi kemakmuran yang perlu dikelola. Berbeda dengan mahasiswa naval architecture di Inggris atau Amerika Serikat, banyak mahasiswa teknik perkapalan ITS yang tidak hanya tidak bisa berenang, namun juga tidak memiliki budaya laut yang dibutuhkan untuk menjadi mahasiswa teknik perkapalan yang baik.

Pemerintah kolonial Belanda berhasil menjajah negeri ini selama tiga ratus tahun lebih dengan menguasai lautnya setelah menghancurkan infrastruktur kekuatan-kekuatan (kerajaan-kerajaan) pesisirnya. Kepekaan waktu-lah –yang khas negara maju- yang membuat Inggris dan Belanda, kemudian AS sebagai kekuatan maritim global terbesar di dunia saat ini, sekalipun AS bukan negara kepulauan. Anggaran riset di bidang kelautan AS bahkan menyamai anggaran pendidikan nasional Indonesia. Kita juga melihat bahwa negara-negara maju memiliki water front yang terkelola dengan baik, sementara pesisir dan sungai kita merupakan kawasan kumuh dan kotor.

Ketujuh, ketidakpekaan kita terhadap waktu telah membuat kita terlena dengan time zoning yang merugikan selama bertahun-tahun, dan kontroversi penetapan 1 Syawal. Sekalipun secara alamiah Indonesia membentang ke tiga wilayah waktu, namun pembagian wilayah waktu Indonesia justru merugikan. Akibat Indonesia terbagi dalam 3 wilayah/zona waktu, jendela transaksi ekonomi, sosial, budaya, dan politik menjadi lebih pendek 2-4 jam setiap hari, selama bertahun-tahun. Implikasi politik (dalam arti keutuhan NKRI) akibat ”keterpecahan waktu” (time-misalignment) ini tidak bisa diremehkan untuk Indonesia yang amat majemuk dan luas ini. Untuk mempermudah upaya-upaya mempersatukan Indonesia, keterpecahan waktu ini harus segera diakhiri.

Merauke harus menunggu 2 jam, dan Makasar 1 jam setelah buka kantor untuk mulai melakukan transaksi dengan mitranya di Jakarta. Dan mereka harus tutup 2 jam (Merauke) dan 1 jam (Makassar) sebelum mitra Jakartanya tutup. Industri listrik, penerbangan, pariwisata, televisi, perbankan, dan perdagangan pada umumnya dirugikan akibat zonasi waktu yang menyebabkan time-split ini. Untuk industri listrik saja, PLN berpotensi mengurangi kerugiannya dengan menggeser beban puncak ke waktu yang lebh menguntungkan, tanpa harus menambah investasi untuk pembangkitan baru.

Seperti Cina, Indonesia yang memiliki bentang geografis yang setara seharusnya menggunakan satu wilayah waktu saja –sebut saja Waktu Kesatuan Indonesia-, dengan mengacu pada Waktu Indonesia Tengah (waktu Denpasar) agar terintegrasi dengan pasar utama Asia (Hongkong dan Singapura). Ini menunjukkan, Cina lebih cerdas mengelola waktunya daripada kita.

Jika bangsa Indonesia tidak terjebak dalam konsep waktu fisik ala Newton, dan lebih menggunakan konsep waktu menurut Kant-Leibniz, ummat Islam juga tidak perlu mengalami kontroversi yang merusak saat menentukan 1 Syawal untuk menentukan saat Iedul Fitri. Baik NU, Muhammadiyah, serta Pemerintah saat ini (dalam hal ini Menteri Agama, seorang Nahdliyin) terjebak pada pemikiran waktu menurut Newton, sehingga menggantungkan keputusannya pada perhitungan matematis (hisab) dan pengamatan (ru’yat).

Dua metode ini berpotensi menghasilkan 2 peristiwa yang sama (Iedul Fithri sebagai peristiwa mengakhiri puasa) namun terjadi pada waktu yang berbeda. Selanjutnya, para ahli ilmu Falaq justru lebih tertarik untuk meningkatkan kecanggihan metodenya daripada melihat persoalan ini secara lebih luas. Pihak-pihak yang berkepentingan ini selama bertahun-tahun tidak menyadari konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik akibat 2 Iedul Fithri pada waktu yang berbeda. Konsekuenasi yang paling jelas dan menjadi keberatan para pengusaha adalah bahwa mudik nasional berpotensi molor 1 hari.

Jelas sekali membingungkan ada 2 peristiwa yang sama dirayakan pada hari yang berbeda. Padahal perayaan Iedul Fithri menandai pergantian 2 peristiwa yang berbeda, yaitu puasa (tidak boleh makan minum) dan Iedul Fithri/lebaran (mengakhiri puasa, boleh makan dan minum). Bahkan, 2 peristiwa yang sama pada hari yang berbeda mencerminkan kekacauan waktu menurut Kant-Leibniz. Sebagai pengalaman indrawi yang intens, puasa dan lebaran merupakan 2 peristiwa distinct yang amat bermakna, tidak saja secara indrawi dan temporal, terlebih lagi secara spiritual.

Jika ukhuwah Islamiyyah dijadikan kriteria penetapan 1 Syawal (artinya, Iedul Fithri sebagai sebuah peristiwa penting untuk membangun ukhuwah Islamiyyah), ummat Islam tidak perlu kebingungan mengenai kapan mengakhiri puasa Ramadlan, karena toh waktu hanyalah ordering of events.

5. Pendidikan Liberal Arts : membangun kepekaan waktu

Dalam rangka melahirkan agen-agen perubahan di masyarakat, khususnya dalam rangka menyiapkan manusia yang mengemban tugas mentransformasikan sumberdaya alam menjadi besaran-besaran nilai tambah yang tinggi, pendidikan terpenting adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran, penghargaan, dan kepatuhan (disiplin) terhadap waktu. Artinya, aspek disiplin yang terpenting adalah disiplin waktu (time discipline). Bagaimana kita menumbuhkan kepekaan waktu dan, kemudian, disiplin waktu ? Strategi terpenting dalam pendidikan yang membangun kepekaan terhadap waktu adalah bagaimana waktu tidak saja lebih mudah dipahami, namun juga menentukan keindahan – pengalaman estetis- dan kemenangan (dua hal yang menentukan kebahagiaan manusia, dan kejayaan sebuah bangsa) dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat sehari-hari.

Pertama, kepekaan dan disiplin waktu dapat diajarkan tidak melalui kekerasan, namun melalui pendidikan sejarah. Jika pendidikan berarti memandu peserta didik ke masa depan, gagasan tentang masa depan ini hanya bermakna jika masa lalu juga memperoleh pemaknaan yang setara. Waktu sebagai rangkaian peristiwa dapat lebih dimaknai jika pendidikan sejarah disajikan dengan cara yang jauh lebih baik daripada yang diajarkan saat ini di sekolah-sekolah kita, tidak sekedar menghafalkan nama orang, serta tanggal, namun membahas peristiwa secara lebih komprehensif (menjawab pertanyaan mengapa, dan bagaimana).

Kita menyaksikan betapa pelajaran sejarah disajikan demikian menarik di negara-negara maju, dan betapa museum-musem mereka merupakan tempat rekreasi yang diminati, dan betapa mereka menghargai waktu. Sementara di negara-negara yang kurang maju dan tertinggal, pelajaran sejarah seringkali merupakan pelajaran yang membosankan, museum-museum nya penuh debu dan sepi pengunjung, dan penduduknya terkenal dengan budaya ”jam karet”. Karena para pemimpin bangsa umumnya mereka yang belajar dan menghargai sejarah (ingat seruan Bung Karno untuk ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” –JAS Merah), pendidikan sejarah yang buruk tidak saja membuat kita tidak menghargai waktu, namun telah mengganggu kaderisasi kepemimpinan bangsa ini.

Kedua, kepekaan waktu harus dipupuk melalui pendidikan bahasa yang baik, terutama untuk membangun budaya membaca. Sementara masa depan adalah gagasan dan masa lalu hanyalah ingatan –yang juga gagasan-, waktu barangkali merupakan gagasan yang paling sulit untuk dicandra dan dipahami. Barangkali gagasan tentang waktu merupakan gagasan yang tersulit dipahami sesudah gagasan tentang Tuhan. Oleh karena itu, kemampuan menggagas merupakan prasyarat untuk peka terhadap waktu. Bahasa merupakan wadah di mana gagasan-gagasan itu disusun, dibentuk, dan bahkan diperjuangkan dalam bentuk tulisan, rencana-rencana, dan catatan-catatan peristiwa yang telah berlalu. Bahkan Indonesia, baik sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, maupun saat ini, hanyalah gagasan belaka (an imagined society). Yang tercandra oleh mata hanyalah gunung-gunung dan lembah, hamparan laut biru, sungai-sungai, dan bentangan hijau sawah, serta rumah di kaki langit.

Membaca merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperluas wawasan dan mengembangkan kemampuan menggagas. Oleh karena itu, budaya membaca yang kuat merupakan prasyarat bagi budaya waktu yang sehat. Sayang sekali, kita gagal membangun budaya membaca. Kita melompat dari budaya tutur ke budaya nonton (TV). Jumlah judul buku baru yang terbit di Indonesia tidak lebih dari 5.000 judul/tahun, sementara di Malaysia sudah mencapai 15.000 judul/tahun, dan Inggris mencapai 100.000 judul tahun (ini termasuk buku karangan J.K. Rowling ”Harry Potter”). Di negara-negara maju, kita melihat orang membaca di mana-mana, termasuk sewaktu menunggu bis, kereta api, maupun pesawat terbang. Kemiskinan ekonomi merupakan akibat langsung dari kemiskinan gagasan.

Oleh karena inilah, pendidikan bahasa yang bermutu merupakan pondasi yang penting bagi pendidikan yang menumbuhkan budaya membaca yang sehat serta penghargaan atas gagasan. Pendidikan bahasa perlu dititikberatkan pada penguasaan penggunaannya dalam kehidupan –bukan teori tentang bahasa-, terutama berkomunikasi secara verbal –termasuk ketrampilan mendengarkan-, dan menulis (membuat kolom, laporan, komposisi, buku, dsb.).

Ketiga, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan seni, terutama pendidikan musik yang mengembangkan kecerdasan temporal/musikal. Tidak saja melalui pendidikan musik kita mengasah kepekaan kita terhadap tempo, ritme dan dinamika melalui temporal experience yang sehat, kita bahkan mengasah kecerdasan kognitif kita. Pemenang Nobel sains (dan kebanyakan insinyur dan desainer teknik terbaik di Silicon Valley) umumnya mereka yang, paling tidak, memiliki apresiasi musik yang tinggi, atau bahkan sanggup memainkan alat musik tertentu secara piawai.

Bagi banyak orang, profesi musik sekalipun digandrungi (Indonesian Idol umumnya adalah penyanyi), masih saja dianggap tidak menjanjikan. Berbeda dengan di negara-negara miskin, di negara maju, mereka yang terkaya sebagiannya adalah para pemusik. Riset-riset terbaru di bidang psycoacoustics menunjukkan bahwa musik meningkatkan kapasitas kognisi manusia. Pendidikan kita harus membuka jalan-jalan baru ke masa depan yang sama baiknya (bahkan lebih baik) bagi anak-anak dengan kecerdasan musik yang tinggi.

Kita melihat bagaimana pendidikan seni, terutama musik, di Indonesia tertinggal. Pendidikan seni terpinggirkan, dan diajarkan secara amatir oleh guru yang tidak kompeten. Berbeda dengan di negara maju, Fakultas Senirupa di Indonesia jarang yang memiliki jurusan musik, apalagi yang kuat yang memiliki orkes simphoni berkualitas internasional. Kecerdasan seni (musik) rata-rata orang Indonesia rendah, dan mereka yang memiliki kecerdasan kognitif yang tinggi masih kalah dengan mereka –dengan kecerdasan skolastik yang sama- yang belajar musik. Anak-anak Indonesia kebanyakan tidak memperoleh pendidikan musik yang memadai, dan ini telah merugikan kapasitas kognisi mereka. Untuk mampu membentuk sebuah orkestra simponi kelas dunia, Indonesia barangkali membutuhkan waktu paling tidak 20-40 tahun lagi.

Keempat, kepekaan terhadap waktu dan ruang juga dapat ditumbuhkan melalui pendidikan jasmani (olahraga atau gymnastics) dan bermain (dalam arti games maupun dolanan). Melalui pendidikan jasmani, kita belajar melalui pengalaman spatial-temporal expereince bagaimana kecepatan, kekuatan, stamina, dan koordinasi amat menentukan efektifitas dan efisiensi gerakan tubuh, dan –dalam permainan berkelompok- akan menentukan kemenangan. Bahkan dalam dolanan, anak-anak juga belajar melakukan kontrak-kontrak sosial, dan berlatih mematuhi kesepakatan-kesepakatan. Di samping itu, bermain merupakan pelatihan dasar dalam banyak pemanfaatan sumberdaya bersama (common pool resources) kita seperti air, hutan, dan juga ketertiban lalu lintas. Tanpa pendidikan bermain yang memadai, masyarakat lebih sering berperan sebagai free-riders, dan mementingkan diri sendiri dalam pemanfaatan sumberdaya bersama tersebut.

Pelatihan jasmani yang baik akan ikut menentukan perkembangan kecerdasan kognitif kita. Bahkan, banyak dari kita yang baru dapat ”belajar” dengan baik setelah melakukan kegiatan olahraga (yang menyenangkan) terlebih dahulu. Dalam khasanah Islam, Rasulullah bahkan menganjurkan kita untuk belajar berenang, berkuda dan memanah. Ketiga jenis olah raga ini tidak saja melatih kekuatan dan stamina, namun juga koordinasi, konsentrasi, dan tempo.

Kita melihat, bagaimana pendidikan Indonesia tidak mengembangkan kecerdasan kinestetik ini. Bahkan bermain dianggap tidak belajar. Porsi pendidikan olahraga, baik waktu, sarana dan prasarananya, tidak sepadan dibanding dengan porsi pendidikan akademik-skolastik. Dilaporkan baru-baru ini [Republika 4/8/07] oleh Sekretaris Pembina Tim UKS Pusat bahwa 50% anak-anak SD di Indonesia kesegaran jasmaninya amat rendah karena kurang berolahraga, dan tentu saja karena kekurangan prasarana dan sarana bermain.

Kelima, kepekaan terhadap waktu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan yang mengembangkan ketrampilan mengelola waktu (time management), terutama melalui personal leadership ala Covey. Salah satu cara menumbuhkan ketrampilan mengelola waktu adalah melalui pendidikan berorientasi problem-solving (problem-based learning) dengan alokasi waktu tertentu, dan mendorong ketrampilan merencanakan (planning) sedini mungkin, jika perlu mulai pendidikan dasar. Melalui pendidikan berorientasi pemecahan masalah dan sadar-perencanaan ini, siswa diperkenalkan dengan penyelesaian masalah melalui perencanaan dengan menggunakan sumberdaya yang terbatas, dalam jangka waktu tertentu, serta oleh sebuah tim. Ini sekaligus akan membangun kesadaran proses dan kesadaran sistem (organisasi), serta kemampuan bekerja dalam sebuah kelompok.

Pembelajaran berorientasi pemecahan masalah juga mendorong kita untuk membuat rencana dan menjadikan kegiatan merencanakan sebagai kegiatan sehari-hari. Tanpa rencana, tidak ada prioritas, dan semua boleh dilakukan. Tanpa rencana berarti tanpa tujuan, dan evaluasi menjadi tidak relevan. Dengan merencanakan, tumbuh budaya penghargaan terhadap waktu yang sehat, dan kemudian mengembangkan disiplin waktu. Rasulullah bahkan mengatakan ”Jadikan hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok hari lebih baik dari hari ini. Jika hari ini sama saja dengan kemarin, kamu rugi. Jika esok lebih jelek dari hari ini, kamu celaka”. Pesan Rasulullah ini mengandung hikmah bahwa kita harus senantiasa melakukan ”continuous self improvement”.


Catatan Untuk ITS

Kita mengamati betapa pendidikan kita selama ini perlu direorientasikan kembali untuk mengembangkan pendidikan liberal arts yang membangun kesadaran sejarah, kecerdasan-kecerdasan bahasa, dan seni -terutama musik-, serta pendidikan jasmani yang membangun kecerdasan kinestetik. Encyclopædia Britannica mendefinisikan liberal arts sebagaicollege or university curriculum aimed at imparting general knowledge and developing general intellectual capacities, in contrast to a professional, vocational, or technical curriculum.” Pada jaman Renaissance pendidikan liberal arts ditujukan untuk manusia yang bebas, bukan untuk para budak. Pendidikan liberal arts menghasilkan peserta didik yang ”terbebaskan”, tidak sekedar menjadi ”tukang”. Pendidikan semacam ini akan meningkatkan citarasa keindahan dan keagungan pada peserta didik yang kemudian akan menjadi motif yang lestari bagi kemajuan mereka sebagai individu maupun sebagai bangsa. Kebijakan pendidikan Indonesia yang hanya terfokus pada kecerdasan-kecerdasan skolastik-kognitif-akademik melulu adalah kebijakan yang keliru. Kita tidak saja menjadi pengimpor produk-produk budaya (musik, film, mode) asing, kita juga terpuruk di bidang olah raga, dan kemudian juga tertinggal di bidang sains dan teknologi.

Untuk mentransformasikan bangsa Indonesia dari kelompok bangsa tertinggal menjadi bangsa yang maju, pendidikan nasional perlu diarahkan agar warga negara memiliki kesadaran waktu dan, kemudian, disiplin waktu yang tinggi. Kepekaan waktu ini terutama dapat dipupuk melalui kemampuan apresiasi warga negara pada sejarah, bahasa, seni musik, dan olahraga. Apresiasi ini akan menjadi pijakan bagi disiplin waktu, dan kompetensi manajerial, dan rekayasa yang dibutuhkan untuk mentransformaikan sumberdaya alam nasional menjadi besaran-besaran nilai tambah yang membawa kesejahteraan dan kemakmuran.

Dunia perguruan tinggi perlu bangkit kembali untuk menjadi agen-agen perubahan, tidak terjebak dalam kesibukan berbagai macam ”proyek”. Patut disesalkan jika perguruan tinggi tidak lagi mengemban tugasnya sebagai sebuah jejaring peringatan dini sosial budaya bangsa ini ( a network of socio-cultural early warning system). Jangan sampai, hak-hak istimwea yang dinikmati perguruan tinggi sebagai lembaga pemberi gelar, membuatnya lumpuh sebagai agen perubahan yang kritis karena memperoleh berbagai macam fasilitas dan pendanaan dari Pemerintah.

ITS sebagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia perlu mengambil langkah kepeloporan dengan mengembangkan pendidikan seni –terutama musik- sebagai penguat dan pelengkap pendidikan desain yang telah lama digelutinya. Pendidikan seni ini akan memperkaya khasanah bathin perguruan tinggi teknologi ini, dan meningkatkan kreatifitasnya. ITS perlu memimpin untuk mengembangkan mazhab ”surobayan” dalam belantika seni budaya di negeri ini, memperkaya mazhab Jakarta, Bandung, Jogya, dan Denpasar. Melalui pendidikan seni ini diharapkan Jawa Timur khususnya menjadi kawasan yang lebih mampu mengembangkan sektor ekonomi kreatifnya sebagai strategi peningkatan proses nilai tambah yang tidak saja ramah lingkungan, namun juga memperkuat basis budaya masyarakat Jawa Timur.

Di samping itu, menurut pandangan penulis, ITS juga perlu mempelopori pendidikan olahraga yang lebih tersistem, dan merintis Fakultas Ilmu dan Teknologi Ke-Olahraga-an. Dengan bekerjasama dengan perguruan tinggi lainnya, seperti UNESA, Fakultas baru ini benar-benar perlu dipikirkan pembentukannya. Sebagai catatan, di Jepang saja sudah berdiri beberapa Universitas Olah Raga.

Penutup

Merenungkan tantangan Transformasi Indonesia 2050, benarlah apabila Qur’an memberikan apresiasi yang tinggi terhadap budaya membaca (perintah dan ayat pertama Qur’an adalah perintah ”iqra’ !”), dan budaya waktu yang sehat. Bahkan, seperti dinyatakan oleh Kusmayanto Kadiman, bisa dikatakan bahwa Ramadlan merupakan paket pendidikan kilat untuk membangun disiplin. Penulis ingin menegaskan bahwa Ramadlan merupakan diklat liberal arts. Dalam kaitan disiplin waktu, Rasulullah bahkan mengatakan yang paling baik adalah ”sholat pada waktunya ” (ash sholatu ’ala waqtiha). Bagaimana kesehatan jasmani, kebugaran, stamina dan kelincahan tubuh perlu ditumbuhkembangkan, Rasulullah bahkan menganjurkan agar kita belajar berenang, berkuda, dan memanah.

Sebagai penutup baiklah dikatakan, umur panjang secara Newtonian tidak banyak artinya, dibanding umur pendek namun penuh peristiwa penting yang kita jalani sebagai sebuah pengalaman hidup. Pelibatan diri kita dalam beragam peristiwa penting itu merupakan perwujudan tanggungjawab kreatif kita sebagai manusia. Tanggung jawab kreatif itulah yang dinamakan amal shaleh sebagai sebuah episode/peristiwa kehidupan kita. Oleh karena itulah, dalam Al Qur’an surat al ‘Ashr, Tuhan bahkan bersumpah atas nama waktu, dan manusia niscaya dalam keadaan merugi, kecuali bagi mereka yang beriman dan membuktikannya dalam amal shaleh. Orang-orang beriman menyadari bahwa mereka adalah makhluq yang harus mengambil tanggungjawab sejarah melalui karya-karya kemanusiaan.

Kepustakaan

Covey, S.R,. Merrill A.R, and Merrill R.R.“ First Things First”, Simon and Schuster, 1994

Gates, Bill. “Competition @ the Speed of Thought”. Time Warner, 1999

Hawking, S.W, and Penrose, R. “The Nature of Space and Time”. Princeton University Press, 1996

Hawking, S.W., and Mlodinow, L. “A Briefer History of Time”, Bantam, 2005

Hotama, S. N. “Pembagian Wilayah Waktu Indonesia”. Prosidings Seminar yang diselenggarakan oleh ITS, KMNRT, IMA dan PT. PLN. Indonesia Marketing Association. 2006

Jim O’Neil “Dreaming with BRICs: The Path to 2050” Goldman Sachs Global Economic Paper No. 99, 2003

Kadiman, K. “Puasa dan Disiplin”. Harian Umum Pikiran Rakyat, 28 September 2007.

McFarlane, J.F. “The Nature of Time”. www.integralscience.org. 1998

Rosyid, D.M. “ Penetapan Iedul Fithri : Antara Newton dan Kant-Leibniz”. Harian Umum Surabaya Post, Oktober 2007

 

Tracy, B. “Time Power”. AMACOM, 2004


Tanggapan

  1. Semoga Ramadhan 1428 H berhasil menjadikan kita kembali pada fitrah, dan menjadikan materi kepedulian sosal selama Ramahan tidak hanya menjadi wacana semata.

    Taqabbalallaahu minnaa wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum,

    kulu ‘aamin wa antum bi khoirin, minal ‘aidin wal faidzin

  2. Menarik sekali pak tulisannya.

  3. Mantabbb, Pak!! Salam kenal dari Salatiga. 😀

  4. Alhamdulillah, saya dapat ilmu baru dari Pak Daniel.
    Benar-benar membuka wawasan saya untuk lebih mengapresiasi waktu.

  5. Ass. Salam Pak. Orasi ilmiah yang cukup membuka wawasan kita semua. Sy mau berkomentar sedikit pak. Banyak hal yg menyebbkn begitu bnyknya ketrblakngn msyrkat kita. Ssngghnya mmg msh ngambang siapa dan apa yg salah pada msyarakat kita atau kita sendiri. Nmun bukn hal yg dewasa jk kt mncari kslahan tnpa mencari solusi.

    Saya ingin berkomentar tentang dunia mahasiswa. Dimata msyarakat khususnya mahasiswa, umumnya mnyalahkan pemerintah shgg pemernth mnjadi objek yg bertanggung jawab atas smua permasalahan msyarakt kita. Secara pribadi saya melihat salah satu faktornya adalah kultur masyarakat kita yang cenderung merasa nyaman dengan keadaan yang ada. Hasil survey konsultan ternama, Tony Sardjono, menilai bahwa kcnderungan msyarakt kita yang salah mengartikan kata pasrah sebagai hal yang diterima begitu saja. Hal ini dinilainya melalui dunia kerja, bahwa kcenderungan mahasiswa Indonesia khususnya lebih merasa nyaman dengan posisi yang ada sehingga malas untuk berusaha mengubah keadaannya(posisi) lebih baik.

    Kemudian budaya yang kurang percaya diri dari masyarakat kita (mahasiswa). Sehingga kurang berkompeten dengan msyarakt luar negeri. Di samping itu kurangnya motivasi untuk berinovasi menyebabkan matinya kreativitas pelajar ditambah kurang mendukungnya proses belajar mengajar yang diterapkan di dunia kampus.
    Dari sini pula, kecenderungan untuk cepat selesai tanpa memikirkan fungsi proses dan lebih berorientasi pada fungsi hasil menyebabkan matinya kreativitas tersebut.

    Alhasil lulusan (sarjana) Indonesia lebih dikatakan lulusan yang Siap Latih bukan Siap Kerja.

    Hal-hal ini menjadi sangat urgen dan tambah rumit karena terlalu bertumpuknya masalah yang ada ditambah solusi yang tidak memihak kepada kepentingan umum (PT menjadi BHP).

    Masalah2 ini merujuk pada tingkat intelektualitas masyarakat kita yang menurun. Kultur dan lingkungan yang kurang mendukung, pemerintah yang bersifat acuh, pendidikan yang mahal menjadikan masalah kita begitu komplit.

    Alhasil masyarakat terserang virus personal down yang berinfeksi pada ketidak percayaan diri. Kemudian merujuk pada tingkat keputusasaan yang tinggi dan menurunnya keyakinan usaha akan sampai.

    Agak sulit memang menemukan solusi jika masalah ini tidak dirembukkan bersama-sama. Tidak adanya keterbukaan pihak yang berwenang menambah tidak adanya benang merah yang dapat ditarik.

    Solusi yang dapat saya rekomendasikan adalah kita menelaah kembali perintah Al-Qur’an pada ayat yang pertama turun. Bacalah!!! Membaca dengan arti yang luas. Melihat, namun melihat belum tentu bergerak, dan bergerak belum tentu menyelesaikan. Namun yang harus ditanamkan pada manajemen personal kita adalah melihat, bergerak dan akhrinya menyelesaikan.
    Wassalam…

    Tak ada yang lebih baik jika kita merujuk pada tujuan akhir, Yakin Usaha Sampai…

  6. Assalamu alaikum
    Bapak DM Rosyid yth.
    Saya sering mengikuti pemikiran Bapak tentang pendidikan. Saya banyak setuju dengan pemikiran tersebut. Sebagai Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, rasanya kok suara Bapak tentang pendidikan di Jawa Timur kurang begitu didengar. Lalu apa fungsi Dewan tersebut?

    Tentang orasi Dies Natalis ITS 47, saya sempat mendengarkan di acara Rapat Terbuka Senat ITS 10 Nov. 2007. Menarik sekali, apalagi diselingi acara penampilan musik dan olah raga di tengah orasi. Suatu hal yang di luar kebiasaan. Saya suka pada hal-hal yang tidak biasa. Luar biasa.
    Maaf, terima kasih.
    Wasalam

  7. Thanks atas informasi dan ilmunya…
    Mari bersama-sama kita wujudkan ramalan tersebut agar Indonesia masuk the Big-7.

    Pelatihan internet gratis kini terbuka untuk masyarakat umum, cari informasinya di :
    http://www.BroadbandLearningCenter.com

  8. Secara kuantitas, potensi Indonesia untuk menjadi negara besar jelas terlihat…
    Tapi kenapa sampai sekarang belum terwujud??
    Tugas kita semua untuk merealisasikannya.
    Go Indonesia !!!

  9. salam kenal pak dari Taipei 🙂

  10. Ramalan adalah sebuah harapan untuk membangun semangat psikologis. Ketika spirit ini tertanam dalam hati, lalu terjadi anchoring di alam bawah sadar, maka potensi untuk mewujudkannya lebih mudah.

    Indonesia sangat memungkinkan untuk itu, jika di drive oleh seorang pimpinan yang mampu meng-kolektif-kan segenap kemampuan dan potensi bangsa secara optimal, jujur, transapan dan dapat dipercaya.

  11. SUKSES Terus Pak Daniel. Tabik dari Madura

  12. Siiip Sekali Pak Daniel.. kita semua dipanggil dibidang masing-masing untuk menciptakan bumi tempat tinggal yang lebih baik. Maju terus Pak

  13. Kalau ke Jogja mampir ya Pak…
    Bebet http://amdarmawan.blogspot.com

  14. Cocok !!!

  15. Assalamualaikum Wr. Wb.
    Pak, artikelnya kok g pernah nambah lagi?
    sibuk ya pak..?
    Semoga sukses tulisan bapak memberikan inspirasi pada saya.
    Wassalam

  16. Pak Daniel kok blognya tidak pernah diupdate lagi? Semoga Bapak selalu sehat 😉

  17. saya sangat bangga mempunyai dosen ( meskipun secara langsung tidak mengajar saya) yang sanagt aktif di dunia penulisan. semoga ilmu bapak bermanfaat. Amiin.

  18. wah posting yang sangat panjang. sampae gak kuat saya baca. so, kritisi tulisan saya dong, Bang…

  19. Saya sangat tertarik dengan pernyataan Pak Daniel tentang lebih pentingnya “modal buatan” seperti integritas, disiplin, militansi, dsb ketimbang modal alam dan potensi2 bangsa lainnya. Singapura dan Jepang adalah sedikit contoh bangsa yang “makmur” dengan modal alam yang terbatas.

    Terima kasih pak. Sudut pandang yang bagus. Mohon ijin saya kutip komentar pada blog saya.

    Bahtiar

  20. Salam.

    Semoga berhasil mewujudkannya Pak Daniel

  21. Dear pak Daniel

    Ponorogo, tumpsh darah ku, ternyata ada sodara dekat ku yang mengalami kemiskinan yang demikian parah, dan saya sama sekali tidak tahu, astagfirulloh… semoga pimpinan indonesia segera dapat mewujudkan cita cita luhur bangsa. amieeen
    pak Daniel terimakasih atas info penting ini.

  22. membaca tulisan bapak serasa saya mendapat ilmu terus seperti ketika saya masih kuliah , dimana bapak menjadi dosen wali saya. Salam dari saya Kris 4394 100 047 dan Paulus 4394 100 048

  23. Useful information. Lucky me I found your site by
    accident, and I’m shocked why this twist of fate did not took place earlier! I bookmarked it.

  24. salam kangen kageum prof. Rosyid…
    sempat terpikir dalam benak tentang kemungkian pemakaian satu satuan waktu untuk seluruh wilayah NKRI, pak prof malah mampu menjabarkan tentang pentingnya hal itu…hebat..luar biasa!


Tinggalkan Balasan ke alief Batalkan balasan

Kategori